Langsung ke konten utama

Cerita Dari Baduy

Sempat bertanya ke diri sendiri tentang berapa banyak kah etnis pedalaman yang hidup di Indonesia? Ratusan atau bahkan saya pikir bisa lebih dari itu. Begini saja, Indonesia mempunyai pulau besar saja ada lima, belum lagi ratusan pulau-pulau kecil. Nah, terbayang sudah jumlah masyarakat yang mendiaminya kan? Mengunjungi salah satu etnis yang ada mungkin akan menjadi salah satu pengalaman yang baik. Dua tahun lalu, saya berkesempatan untuk berkunjung ke salah satu kampung etnis yang ada di pedalaman Banten, Kampung Baduy.



Perjalanan saya mulai dari Jakarta bersama beberapa teman dengan menggunakan kereta cepat Rangkas Jaya menuju stasiun Rangkasbitung. Perjalanan ini akan memakan waktu sekitar 2 jam, yang berarti jam 10 pagi kami sampai di Rangkas Bitung. Dari stasiun ini kami harus ke Ciboleger, tempat awal trekking kami ke Kampung Baduy. Menuju Ciboleger, kami memutuskan untuk memakai elf. Dari stasiun Rangkasbitung menuju Ciboleger memakan waktu 1 sampai 1,5 jam perjalanan. Kondisi jalan waktu itu sudah beraspal. Meski ada beberapa bagian yang rusak, tapi tidak terlalu menghambat perjalanan elf kami. Kami sampai di Ciboleger tepat saat makan siang jadi kami pun memutuskan untuk mengawali treking setelah itu. Selama awal dari Rangkasbitung sebenernya kami tidak sendiri, ada Kang Pepi guide kami yang menemani. Dia juga memberitahu apa-apa saja yang diperlukan untuk masuk ke Kampung Baduy.

Dari Kang Pepi juga kami tahu bahwa kami diharuskan belanja makanan pokok di Ciboleger sebagai bekal makan kami saat tiba di Kampung Kanekes tempat kami menginap. Makanan mentah tersebut nantinya akan diolah oleh tuan rumah dimana kami menginap. Lepas tengah hari kami siap treking menuju desa dimana nanti kami akan menginap semalam, Kanekes. Perjalanan kami lalui melewati beberapa desa dengan kontur tanah lempung yang berbukit, kadang kami harus sedikit naik turun berjalan. Cukup untuk membuat kami berkeringat. Di sisi lain kami bisa dengan jelas kehidupan beberapa kampung disana, ada bapak tua yang sibuk mencari kayu bakar, keriangan anak-anak saat mandi di sungai, gotong royong masyarakat setempat juga terlihat saat mereka bantu membantu membangun rumah.




Akhirnya setelah sekitar 2 jam kami treking, kami pun sampai di Kanekes untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan ke Baduy Dalam (Kampung Cibeo) esok hari. Disini hidup terasa damai. Tak ada aliran listrik, sama sekali jauh dari kesan hidup yang “hedon”. Untuk melakukan kebiasaan mandi pun, kami harus ke sungai seperti yang masyarakat Kanekes biasa lakukan. Jadi aktivitas malam hari kami hanya bisa untuk ngobrol dan istirahat.

Pagi hari setelah sarapan, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju Baduy Dalam, desa Cibeo. Dari Kanekes menuju Cibeo kami harus naik turun bukit seperti sebelumnya. Sekitar 2 jam kami sampai di Cibeo, tapi disini kami tidak diperbolehkan mengambil gambar. Jadi kami di Cibeo murni “belajar”. Disini, kami melihat langsung bagaimana masyarakat Baduy hidup. Ada yang meladang dan menumbuk padi. Kadang kehidupan jauh dari hedonisme terlihat lebih tenang, itu yang saya rasa saat di Cibeo. Pengalaman yang buat saya berkesan, karena disini juga kami bisa belajar banyak dari mereka.






Setelah puas di Cibeo, kami memutuskan untuk kembali ke Kanekes. Sebenarnya masih ada dua desa lagi, Cikeurta Warna dan Cikeusik tapi karena waktu kami terpaksa tidak melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan pulang ke Kanekes, kami sempat mampir ke beberapa rumah warga untuk membeli duren. Jadi ternyata selain menggarap ladang, mereka juga petani duren. Jadi lumayan untuk dibawa pulang, kapan lagi dapat duren “Baduy”.

Kami sempat beristirahat sejenak dan berkemas saat sampai di tempat menginap. Disini juga banyak juga para pedagang yang menawarkan kerajinan-kerajinan masyarakat Baduy. Ada kaos, gelang, gelas bambu dan banyak lagi. Beberapa teman pun tidak ketinggalan untuk membeli setelah dengan susahnya menawar. Dari situ kami kemudian berpamitan dengan empu nya rumah untuk pulang ke Jakarta. Perjalanan kami lalui seperti saat kami ke tempat ini dengan jalur sama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hi Lawu Hi!

Gunung Lawu yang mempunyai  ketinggian 3265 MDPL ini berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur,yaitu di kawasan Karang anyar (Wonogiri-Jateng) dan Magetan (Jawa Timur). Sore hari yang cerah menemani perjalanan ke basecamp Lawu yang berjarak sekitar 2 jam an dari tempat saya dan teman-teman berkumpul. Kabut tebal menyambut hangat saat kami baru sampai di base camp. Suasana di sekitar base camp Cemoro Sewu saat itu terbilang ramai. Banyak muda-mudi yang melewatkan sorenya untuk sekedar berkumpul di area tersebut, tak heran karena mungkin persis di depan base camp merupakan jalur perbatasan antar propinsi. Saya dan beberapa teman memilih untuk nongkrong di warung kopi sembari menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan menuju base camp. Sebelummnya karena kami sampai terlalu sore, maka pendakian diputuskan untuk dimulai setelah waktu maghrib. Cuaca cerah namun berkabut menemani pendakian kami malam itu. Sekitar pukul 7 dan dimulai dengan doa bersama, kami mulai m

Tepi Campuhan

     *dua mingguan sebelum Bali,badan drop,gejala typhus* “Jadi ..Ma..kamu jadi ke Ubud, ngapain?” “Aku mau tracking di Campuhan” “ye..udah gitu doank..kamu jauh-jauh ke Ubud cuma mau tracking di Campuhan..emang di Jawa gak ada tempat buat tracking ?” “ya..gak tau ya..aku tujuan utama si itu..you know it’s like falling in love at first sight, aku harus kesana” jawabku lempeng “hmmm…” temanku sedikit menggugam       *dia, partner traveling (whatsaap)* “Ndo, gimana kondisimu?baikan belum?” “udah ke dokter, disuruh bed rest…harus sembuh, terlanjur beli tiket hehehe” “Bali jangan dipikirin dulu..cepet sembuh,bed rest…hug..hug..hug” “…… …… …… ……. …… ……. …… ……. ……… ……….” lelap *malam sebelum Bali* “everything is fine..everything in control..enjoy the journey..gak ada yang tertinggal…gak ada” menggumam *********************************************** *Bali hari terakhir* Hari terakhir di Bali, kami habiskan dengan menikmati Ubud saja, hanya Ubud.

Senja Di Namsan

Hari pertama di Seoul, belum sampai setengah hari. Dan sore   itu kami bergegas menuju Namsan Tower. Tak pernah terpikirkan bahwa Korea Selatan menjadi negara kesekian yang berhasil aku kunjungi. Cuaca begitu dinginnya dan ini merupakan pengalaman pertamaku merasakan kejamnya musim dingin di negara yang terkenal dengan industri K-Pop nya ini. Menikmati Namsan juga bukan perkara mudah, kita diharuskan menggunakan kereta gantung menuju menara utama. Tidak untuk yang takut ketinggian, karena kereta gantung di Namsan bisa terbilang cukup tinggi. Bagaimana tidak menara utamanya terletak di atas perbukitan. Kami sampai di ujung bukit, tepat saat senja. Sungguh landscape yang cukup cantik. Sore itu cuaca sungguh dingin buatku, tapi di sisi lain langit begitu cantiknya. Banyak sekali orang disini, sebagian besar berpasangan. Melihat mereka sungguh membuatku haru. Ada banyak bahagia yang bisa kita lihat di wajah mereka, itulah mengapa gembok-gembok cinta dibuat disini. Aku tertegun