Langsung ke konten utama

Tepi Campuhan




    

*dua mingguan sebelum Bali,badan drop,gejala typhus*
“Jadi ..Ma..kamu jadi ke Ubud, ngapain?”
“Aku mau tracking di Campuhan”
“ye..udah gitu doank..kamu jauh-jauh ke Ubud cuma mau tracking di Campuhan..emang di Jawa gak ada tempat buat tracking?”
“ya..gak tau ya..aku tujuan utama si itu..you know it’s like falling in love at first sight, aku harus kesana” jawabku lempeng
“hmmm…” temanku sedikit menggugam
     
*dia, partner traveling (whatsaap)*
“Ndo, gimana kondisimu?baikan belum?”
“udah ke dokter, disuruh bed rest…harus sembuh, terlanjur beli tiket hehehe”
“Bali jangan dipikirin dulu..cepet sembuh,bed rest…hug..hug..hug”
“…… …… …… ……. …… ……. …… ……. ……… ……….” lelap

*malam sebelum Bali*
“everything is fine..everything in control..enjoy the journey..gak ada yang tertinggal…gak ada” menggumam

***********************************************
*Bali hari terakhir*
Hari terakhir di Bali, kami habiskan dengan menikmati Ubud saja, hanya Ubud. Dari hari pertama sampai hari terakhir kami, ntah kenapa saya seakan terbius hanya untuk menikmati, benar-benar menikmati tempat ini. Dari kebiasaan traveling ke beberapa tempat, memory kamera “hampir” selalu penuh, berbeda dengan tempat ini, saya hanya membuat 100an foto, gak lebih. Saya terbius suasananya, saya hanya ingin menikmatinya kali ini. Beberapa kali saya katakan ke partner saya waktu itu “gila ya orang Bali…gila ya orang Ubud..gila ya cara mereka memuji Tuhan nya..gila ya mereka, coba seluruh Indonesia kaya mereka..gila ya..”. 

Di beberapa hal saya sering sekali merasa “terperangah” untuk hal-hal yang bagi sebagian orang mungkin sepele. Seperti pada saat suatu sore kami sedang berkendara keluar guesthouse, kami “terjebak” diantara ratusan warga Ubud yang hendak melakukan sembahyang di Pura besar Monkey Forest. Kami mau tidak mau ikut serta dalam rombongan pejalan kaki itu dan memelankan laju sepeda motor. Saat berada dalam rombongan itu, saya kagum, benar-benar kagum. Saya rasakan sebuah euphoria yang sulit saya jabarkan. Manusia-manusia berbaju seragam warna putih, membawa sesajen, berjalan dengan semangat, kebersamaan demi satu tujuan, yaitu Tuhan. Jarang sekali saya temukan semangat akan Tuhan seperti sore itu, di luar kultur di tempat saya tinggal dengan di Ubud ini memang berbeda, tapi saya tetap kagum. Saya speechless..

*********************************************

Terbuai dengan Museum Blanco sebelum nya, lalu menikmati sajian khas Bali di Murni’s Warung, kami berputar arah menuju Jalan Raya Ubud. Tak jauh dari dua tempat itu, agak masuk gang kecil persis di sebelah Hotel Ibah kami memarkir sepada motor untuk memulai tracking. Sore menjelang senja, kami memulai tracking. Memulai dari jalan setapak yang berada di samping Pura besar yang saya lupa namanya, Pura itu yang sekali lagi mengejutkanku karena sangat cantik dan ukurannya besar. Saya berhenti sebentar di samping pura, mengagumi dekorasinya, di sela-sela ujung menara Pura sinar matahari masuk sehingga membentuk siluet saat saya berhasil menangkapnya dengan kamera di tangan. Sempurna.

Cukup mudah tracking Campuhan, karena jalur nya cuma satu dan hanya jalan setapak kecil. Tak berapa lama setelah jalan yang agak menanjak,akan terlihat jalan kecil yang membelah dua bukit di kanan kiri. Tempat ini cukup rame sore itu. Ada segerombolan anak-anak Ubud yang cukup senang menikmati bermain di pematang-pematang sawah, ada juga yang rame bersendau gurai di sisi jalan setapak, pun dengan para pecinta fotografi berdatangan menikmati sunset, atau juga wisatawan asing yang bersemangat dengan jogging sore mereka. Dan tak ketinggalan sepasang calon suami istri yang sibuk dengan foto prewedding mereka. Aku duga hasilnya akan sebagus sinar matahari sore yang berhasil membentuk siluet tubuh pasangan ini yang hanya bisa kami nikmati dari kejauhan tak ingin mengganggu proses foto itu.

Di ujung jalan setapak Campuhan, kami memutuskan untuk istirahat. Menikmati keringat yang mengucur deras, sembari sesekali menyapa orang-orang yang hilir mudik melewati tempat kami beristirahat. Suasana disini magis, dengan semilir angin yang cukup memberi kami rasa sejuk dan udara yang bersih tanpa polusi. Kami bertemu dengan bapak tua pencari semak juga, beliau bilang semak-semak itu dipakai untuk atap villa-vila di Ubud. Bapak ini mencari nya sedari pagi hari sampai sore, rumah nya di Tegalallang. Kata beliau, satu gulungan semak itu seharga 25 ribu. Ahhh..tapi aku lupa menanyakan nama Bapak itu. Bapak ini ramah, hampir di setiap kata yang beliau ucap selalu diakhiri dengan senyum simpul di bibirnya. 

 *********************************************

Benar apa yang dibilang Slank.. 
“Tepi Campuhan aku sendiri
Menahan hening redup senja ini
Tepi Campuhan aku menyepi
Menahan dingin kabut senja ini
……………………………….
          Sembunyi diriku dalam pelukan alam
          Hindari semua kenyataan
          Menggigil tubuhku sadari alam
          Di sini aku kecil dan tak berarti”

Tempat ini sederhana tapi magis, memberiku sejenak jeda dari banyak hal. Disini mungkin tak seindah Mahameru waktu itu, tapi tempat ini sungguh sederhana. Saya hanya melihat orang lalu lalang dengan kesehariannya. Bapak petani yang menyambung hidup dengan mencari semak, anak-anak Ubud lalu lalang di pematang sawah, desiran angin yang membuai ku ke lamunan-lamunan. Ini bukan lagi tentang love at the first sight yang ada di google search, atau karena tiket pesawat yang terlanjur kami beli. Ini tentang hati yang rindu bagaimana hidup itu sederhana, sesederhana manusia-manusia yang sedang ada di tepian Campuhan ini. Ahhh..jika traveling sebuah kompetisi, mungkin saya tak pernah kesini. Buat apa? Ke Rinjani saja seperti ajakan teman waktu, Rinjani mungkin akan sangat lebih indah atau ke tempat itu saja karena kulihat di halaman socmed seorang teman tempat itu sungguh indah. Tapi tepi Campuhan yang sederhana itu memikatku, membuat ingin kembali.

Tepi Campuhan.
 
*********************************************













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hi Lawu Hi!

Gunung Lawu yang mempunyai  ketinggian 3265 MDPL ini berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur,yaitu di kawasan Karang anyar (Wonogiri-Jateng) dan Magetan (Jawa Timur). Sore hari yang cerah menemani perjalanan ke basecamp Lawu yang berjarak sekitar 2 jam an dari tempat saya dan teman-teman berkumpul. Kabut tebal menyambut hangat saat kami baru sampai di base camp. Suasana di sekitar base camp Cemoro Sewu saat itu terbilang ramai. Banyak muda-mudi yang melewatkan sorenya untuk sekedar berkumpul di area tersebut, tak heran karena mungkin persis di depan base camp merupakan jalur perbatasan antar propinsi. Saya dan beberapa teman memilih untuk nongkrong di warung kopi sembari menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan menuju base camp. Sebelummnya karena kami sampai terlalu sore, maka pendakian diputuskan untuk dimulai setelah waktu maghrib. Cuaca cerah namun berkabut menemani pendakian kami malam itu. Sekitar pukul 7 dan dimulai dengan doa bersama, kami mulai m

Sisi lain Cerita Keraton Mataram di Ullen Sentalu

       Museum ini diprakarsai oleh keluarga Haryono dari Yogyakarta, dirintis tahun 1994 dan diresmikan 3 tahun kemudian yaitu pada tanggal 1 Maret 1997. Nama museum ini Ullen Sentalu. Ullen Sentalu sendiri merupakan akronim dari “Ulataning Blencong Sejatine Tataraning Lumaku (Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan)” . Kalimat ini diambil dari filosofi lampu minyak yang dipergunakan dalam pertunjukkan wayang kulit dimana lampu itu akan selalu menghasilkan cahaya yang selalu bergerak untuk mengarahkan dan menerangi perjalanan hidup kita sebagai manusia. Museum ini terletak sekitar 25 km dari pusat kota Yogyakarta dan berada di kaki gunung Merapi. Ullen sentalu memiliki beberapa ruang utama, dan hampir semua ruangan sangat berkaitan erat dengan cerita-cerita sejarah dan budaya keraton Yogyakarta dan Solo. "pintu masuk museum"        Begitu masuk ke dalam museum ini kita akan disambut oleh suasana yang asri karena rimbun