Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Si Cantik Parahyangan Bernama Papandayan

Perjalanan menuju gunung Papandayan, saya awali dari kota Garut yang berjarak sekitar 6 jam dari kota dimana saya tinggal. Saya dan beberapa teman dari Jakarta memutuskan untuk bertemu di Masjid Tarogong Garut sekalian mereka melaksanakan shalat Shubuh. Waktu menunjukkan pukul ½ 5 saat kami memulai perjalanan menuju pasar Cisurupan, tempat dimana kami akan berbelanja logistik untuk kami bawa. Sembari menyiapkan logistik, kami pun sarapan di tempat ini sebelum berangkat menuju base camp Gunung Papandayan. Sekitar lewat jam 7 kami berangkat menuju base camp. Membutuhkan waktu sekitar 1 ½ jam untuk menuju base camp. Kondisi jalan dari Cisurupan menuju base camp boleh dibilang tidak terlalu baik. Selain jalan yang sempit, ada beberapa bagian rusak dan berlubang.   Lewat pukul 8 pagi, kami sampai di base camp . Sebelum memulai tracking , kami tidak lupa untuk melakukan registrasi di pos dan memeriksa kembali barang bawaan kami masing-masing. Tepat pukul 9 pagi, kami memulai trackin

Cerita Dari Baduy

Sempat bertanya ke diri sendiri tentang berapa banyak kah etnis pedalaman yang hidup di Indonesia? Ratusan atau bahkan saya pikir bisa lebih dari itu. Begini saja, Indonesia mempunyai pulau besar saja ada lima, belum lagi ratusan pulau-pulau kecil. Nah, terbayang sudah jumlah masyarakat yang mendiaminya kan? Mengunjungi salah satu etnis yang ada mungkin akan menjadi salah satu pengalaman yang baik. Dua tahun lalu, saya berkesempatan untuk berkunjung ke salah satu kampung etnis yang ada di pedalaman Banten, Kampung Baduy. Perjalanan saya mulai dari Jakarta bersama beberapa teman dengan menggunakan kereta cepat Rangkas Jaya menuju stasiun Rangkasbitung. Perjalanan ini akan memakan waktu sekitar 2 jam, yang berarti jam 10 pagi kami sampai di Rangkas Bitung. Dari stasiun ini kami harus ke Ciboleger, tempat awal trekking kami ke Kampung Baduy. Menuju Ciboleger, kami memutuskan untuk memakai elf. Dari stasiun Rangkasbitung menuju Ciboleger memakan waktu 1 sampai 1,5 jam perjalanan. K

"Traveling without moving" ala Kedai Kopi Mata Angin

Kedai Kopi Mata Angin yang berada di jalan Laswi no.19A Bandung ini akan mengajak Anda berpetualang ke banyak tempat indah di dunia. Siang itu Teh Uta dengan ramah mempersilahkan masuk ke kedai, padahal saat itu dia bahkan belum membukanya. “tadi aku liat kok di depan ada cewe bawa-bawa keril,kupikir pasti mau masuk kesini jadi ya dibuka aja” sapa Teh Uta “iya nie Teh, kupikir jam segini udah buka Teh tapi pas nyampe di depan..eh ternyata masih tutup. Mau nekad masuk, gak berani Teh” jawabku santai. “iya sie emang harusnya udah buka jam segini mah, cuma lagi gak ada pegawai..biasa, pada gak masuk. Lagi pada jenuh mungkin” tambah nya “oo..gitu” “eh..irma. ya udah enjoy ya disini..mau ke belakang dulu, maklum pegawai lagi pada gak berangkat jadi ya gitu, double job hehe..eh iya temen-temen mu mana nie atau sendirian” sahut Teh Uta terkekeh “iya Teh..santai aja kok paling bentar lagi temen-temenku sampai” jawabku. Sembari menunggu dua orang teman, saya memilih u

Penginapan "Woman Only" di Bandung

Bandung..kota dengan banyak pesona. Dari alam, kuliner, sejarah, sampai wisata belanja nya. Satu hari tidak akan cukup untuk menjelajah kota dengan julukan “Paris Van Java” ini. Beberapa waktu yang lalu, saya traveling sendiri ke kota ini dan satu hal yang membuat bingung pas awal keberangkatan yaitu mencari tempat menginap yang tentunya terjangkau. Beruntung dari informasi seorang teman, saya pun menemukan penginapan yang cocok buat solo traveler perempuan seperti saya karena penginapan ini “woman only”. Nama penginapan nya Dago Inn. Penginapan milik Teh Yasmin ini terletak di Jalan Ir. H. Djuanda No. 427 atau mudahnya di seberang Terminal Dago masuk ke dalam gang jadi lumayan strategis. Dan satu lagi, tarif menginapnya cukup terjangkau untuk kaum traveler yang dipatok dengan harga Rp 60.000 per malam. Booking jauh-jauh hari menjadi pilihan yang tepat karena ketersediaan kamar di tempat ini terbatas.  foto : Dago Inn

Sisi lain Cerita Keraton Mataram di Ullen Sentalu

       Museum ini diprakarsai oleh keluarga Haryono dari Yogyakarta, dirintis tahun 1994 dan diresmikan 3 tahun kemudian yaitu pada tanggal 1 Maret 1997. Nama museum ini Ullen Sentalu. Ullen Sentalu sendiri merupakan akronim dari “Ulataning Blencong Sejatine Tataraning Lumaku (Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan)” . Kalimat ini diambil dari filosofi lampu minyak yang dipergunakan dalam pertunjukkan wayang kulit dimana lampu itu akan selalu menghasilkan cahaya yang selalu bergerak untuk mengarahkan dan menerangi perjalanan hidup kita sebagai manusia. Museum ini terletak sekitar 25 km dari pusat kota Yogyakarta dan berada di kaki gunung Merapi. Ullen sentalu memiliki beberapa ruang utama, dan hampir semua ruangan sangat berkaitan erat dengan cerita-cerita sejarah dan budaya keraton Yogyakarta dan Solo. "pintu masuk museum"        Begitu masuk ke dalam museum ini kita akan disambut oleh suasana yang asri karena rimbun

Hi Lawu Hi!

Gunung Lawu yang mempunyai  ketinggian 3265 MDPL ini berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur,yaitu di kawasan Karang anyar (Wonogiri-Jateng) dan Magetan (Jawa Timur). Sore hari yang cerah menemani perjalanan ke basecamp Lawu yang berjarak sekitar 2 jam an dari tempat saya dan teman-teman berkumpul. Kabut tebal menyambut hangat saat kami baru sampai di base camp. Suasana di sekitar base camp Cemoro Sewu saat itu terbilang ramai. Banyak muda-mudi yang melewatkan sorenya untuk sekedar berkumpul di area tersebut, tak heran karena mungkin persis di depan base camp merupakan jalur perbatasan antar propinsi. Saya dan beberapa teman memilih untuk nongkrong di warung kopi sembari menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan menuju base camp. Sebelummnya karena kami sampai terlalu sore, maka pendakian diputuskan untuk dimulai setelah waktu maghrib. Cuaca cerah namun berkabut menemani pendakian kami malam itu. Sekitar pukul 7 dan dimulai dengan doa bersama, kami mulai m

Selasar Sunaryo: Tak Sekedar Galeri Seni

Menikmati seni dapat dilakukan dengan banyak cara. Selasar Sunaryo Art Space namanya, bertempat di Jl. Bukit Pakar Timur No.100. Tempat ini diambil dari nama seorang seniman bernama Bapak Sunaryo dan didirikan pada 5 September 1998. Kebetulan tempat ini tidak terlalu jauh dari tempat ku menginap di seberang terminal Dago. Tak sampai setengah jam, aku pun sampai di Selasar Sunaryo. Siang itu tidak terlalu panas tapi lumayan berangin, terasa sekali angin berhembus kencang dan cukup sejuk. Tidak mengherankan karena tempat ini berada di kawasan perbukitan Dago Pakar. Suasananya cukup tenang dan asri. Waktu itu begitu sampai tempat ini dan keasyikan untuk memotret, tanpa sadar pihak sekuriti menegurku dengan sopan. Jadi untuk masuk ke tempat ini, kita tidak diperbolehkan untuk menggambil gambar di area galeri seninya kecuali dengan ijin tertentu. Ruangan yang diperbolehkan mengambil gambar hanya sampai kopi selasar, selain itu tidak diperbolehkan. Keinginan untuk mengabadikan seti