Sebenernya perjalanan ini merupakan
“unexpected one”. Bukan karena tempat nya, melainkan situasi dan kondisinya.
Oke, lupakan sejenak mengenai itu, akan ada penjelasannya nanti. Prau,
pegunungan di kawasan Dieng ini memiliki ketinggian tak seberapa dibandingkan
gunung yang lain di Jawa, gunung ini mempunyai tinggi 2565 MDPL.
Pada long weekend bulan Maret
lalu, aku dan beberapa teman dari Jakarta berkesempatan untuk mengunjungi
gunung ini. Sudah sejak lama, aku punya keinginan untuk ke tempat ini. Kalau dari
hasil browsing, hal pertama yang membuatku tertarik adalah sabananya. At least,
dari beberapa blog yang aku baca, gunung ini mempunyai sabana yang luar biasa.
I have no doubt of it!
Singkat cerita, kami bertujuh
memulai perjalanan ini dari tempat pos pendaftaran pendakian sekitar jam 8
malam. Agak terlambat berjam-jam an dari jadwal yang telah dibuat. Kami
berencana trekking pagi waktu itu tapi ternyata teman-teman yang dari Jakarta
kena macet berjam-jam lamanya. Baru sore harinya mereka sampai di Wonosobo!
Ada dua jalur yang bisa kita
tempuh menuju Prau. Jalur Dieng dan Patak Banteng. Kami memilih jalur Dieng,
jalur banyak landai tapi lebih lama jarak tempuhnya dari Patak Banteng. Kalau
yang aku dengar jalur Patak Banteng lebih terjal namun lebih singkat di waktu tempuh.
Dan walhasil, setelah 4 jam an itu kami baru sampai camping ground. Thanks God
for it! Trekking malam itu tidak pernah mudah buatku yang sudah lama gak naik
gunung, ditambah suhu dingin di Prau. Belum lagi..nah ini yang aku sebut “unexpected
one”. Ini sebenernya aku amati dari setahun belakangnya, ntah ada hubungannya
atau tidak dengan tanyangan jalan-jalan yang marak di televisi nasional.
Kasus terakhir waktu aku ke Bromo Oktober 2013,
pengunjung di Bromo sangat membludak, macet sepanjang jalan menuju Pananjakan
sampai niat untuk melihat sunrise pun pupus sudah. Berbeda banget saat aku
mengunjungi Bromo di tahun 2011. Ini juga yang terjadi dengan Prau Maret lalu,
rombongan kami shock sesampainya di camping ground karena area itu nampak seperti
“lautan dome”. Hampir 30 menit kami baru
mendapat tempat untuk mendirikan tenda!
Aku sendiri gak berkeberatan
dengan hal itu, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita beretika. Yang
membuatku jengkel saat itu adalah ada satu rombongan yang aku perkiraan mereka
telah sampai lebih dulu yang gaduh nya luar biasa. Hampir sepanjang malam
mereka memainkan alat musik, bernyanyi tanpa mempedulikan pendaki lain yang
tentu saja ingin beristirahat!Jadi bisa dibayangkan kondisi tempatnya seperti
apa malam itu,kan?jengah!
Aku tau betul bahwa liburan dan
menikmati alam itu merupakan hak pribadi setiap orang, yang perlu diingat
adalah ada orang-orang lain disitu yang juga butuh hak nya. Prau kemarin
memberiku pelajaran bahwa tempat indah akan kehilangan pesonanya, jika
pengunjung kehilangan etika.
Komentar
Posting Komentar