Langsung ke konten utama

Menikmati Penglipuran

                Hari belum juga jam 8 pagi, tetapi Bali waktu itu sungguh panas. Kami yang sedari tengah malam sudah sampai dan memutuskan untuk menginap di bandara sampai pagi ini sedikit kewalahan dengan cuaca Bali saat itu. Belum lagi perjalanan dari bandara menuju Bangli tidak cukup dibilang singkat, hampir 2 jam lamanya ditambah beberapa kali salah jalan. Kami berdua buta jalan. Hanya berbekal GPS di smartphone yang jaringannya tak stabil ini, kami menuju Bangli dengan sesekali tanya arah ke penduduk sekitar. Beruntung nya karena masyarakat Bali cukup ramah untuk sekedar menunjukkan arah. Agak tidak terbiasa karena mereka lebih banyak menggunakan arah mata angin ketika menunjukkan arah seperti "ke utara, ke selatan" dibanding kami yang terbiasa dengan "belok kanan,ke kiri,lurus". 

          Tujuan kami di hari pertama adalah Desa Penglipuran di Kecamatan Kubu, Bangli. Menuju Penglipuran adalah kita menikmati sisi lain dari pulau Dewata yang bukan sekedar pantai-pantai indah, tetapi lebih kepada kehidupan masyarakat Bali yang sangat menjaga "custom" mereka. Jalanan menuju Penglipuran cukup bagus, tidak begitu lebar namun menyenangkan, karena sepanjang jalan kita akan menjumpai rumah-rumah penduduk dengan arsitektur khas Bali, Pura-pura yang berdiri kokoh, masyarakat dengan pakaian-pakaian adat yang hendak melaksanakan sembahyang. Hal-hal semacam itu, yang simpel tapi indah untuk dilihat. Membuat ku tersadar bahwa sebenernya kita jadi kaya karena berbeda. Itu point nya!


              Sampai Penglipuran menjelang pukul 10 pagi, belum begitu ramai. Tiket sebesar 16 ribu untuk dua orang kami bayar di loket persis di belakang gapura "selamat datang". Penglipuran merupakan desa wisata yang dari sini kita bisa melihat aktivitas sehari-hari masyarakat tradisional Bali. Beberapa bangunan di tempat ini sebagian besar merupakan bangunan asli yang dibangun sudah sangat lama. Kita dapat melihat ke dalam tiap-tiap rumah penduduk kalau mau, mereka karena sudah terbiasa dengan banyaknya turis yang berkunjung akan dengan senang hati mengantar para wisatawan. Mereka mempunyai satu pura besar untuk sembahyang, tepat di depan balai besar. Dari depan pura kita dapat melihat keseluruhan tata letak desa Penglipuran karena memang bangunan pura dibangun lebih tinggi dari rumah-rumah penduduk sekitarnya.


          Tak lama kami berada di Penglipuran, karena memang waktu kami di Bali cukup singkat dengan itenary yang lumayan padat. Tak sampai dua jam kami meninggalkan Penglipuran untuk menuju Pura Tirta Empul di Tampak Siring. Ada banyak hal di tempat ini yang membuat saya mengerti kenapa orang-orang dari belahan dunia sana banyak yang datang hanya karena penasaran, termasuk saya. Berada di tempat dimana masyarakatnya masih menjunjung tinggi warisan budaya leluhur merupakan pelajaran berharga. Setidaknya di tengah segala macam modernitas, di tengah segala macam perubahan, hal yang semacam ini merupakan "oase".




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hi Lawu Hi!

Gunung Lawu yang mempunyai  ketinggian 3265 MDPL ini berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur,yaitu di kawasan Karang anyar (Wonogiri-Jateng) dan Magetan (Jawa Timur). Sore hari yang cerah menemani perjalanan ke basecamp Lawu yang berjarak sekitar 2 jam an dari tempat saya dan teman-teman berkumpul. Kabut tebal menyambut hangat saat kami baru sampai di base camp. Suasana di sekitar base camp Cemoro Sewu saat itu terbilang ramai. Banyak muda-mudi yang melewatkan sorenya untuk sekedar berkumpul di area tersebut, tak heran karena mungkin persis di depan base camp merupakan jalur perbatasan antar propinsi. Saya dan beberapa teman memilih untuk nongkrong di warung kopi sembari menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan menuju base camp. Sebelummnya karena kami sampai terlalu sore, maka pendakian diputuskan untuk dimulai setelah waktu maghrib. Cuaca cerah namun berkabut menemani pendakian kami malam itu. Sekitar pukul 7 dan dimulai dengan doa bersama, kami mulai m

Tepi Campuhan

     *dua mingguan sebelum Bali,badan drop,gejala typhus* “Jadi ..Ma..kamu jadi ke Ubud, ngapain?” “Aku mau tracking di Campuhan” “ye..udah gitu doank..kamu jauh-jauh ke Ubud cuma mau tracking di Campuhan..emang di Jawa gak ada tempat buat tracking ?” “ya..gak tau ya..aku tujuan utama si itu..you know it’s like falling in love at first sight, aku harus kesana” jawabku lempeng “hmmm…” temanku sedikit menggugam       *dia, partner traveling (whatsaap)* “Ndo, gimana kondisimu?baikan belum?” “udah ke dokter, disuruh bed rest…harus sembuh, terlanjur beli tiket hehehe” “Bali jangan dipikirin dulu..cepet sembuh,bed rest…hug..hug..hug” “…… …… …… ……. …… ……. …… ……. ……… ……….” lelap *malam sebelum Bali* “everything is fine..everything in control..enjoy the journey..gak ada yang tertinggal…gak ada” menggumam *********************************************** *Bali hari terakhir* Hari terakhir di Bali, kami habiskan dengan menikmati Ubud saja, hanya Ubud.

Senja Di Namsan

Hari pertama di Seoul, belum sampai setengah hari. Dan sore   itu kami bergegas menuju Namsan Tower. Tak pernah terpikirkan bahwa Korea Selatan menjadi negara kesekian yang berhasil aku kunjungi. Cuaca begitu dinginnya dan ini merupakan pengalaman pertamaku merasakan kejamnya musim dingin di negara yang terkenal dengan industri K-Pop nya ini. Menikmati Namsan juga bukan perkara mudah, kita diharuskan menggunakan kereta gantung menuju menara utama. Tidak untuk yang takut ketinggian, karena kereta gantung di Namsan bisa terbilang cukup tinggi. Bagaimana tidak menara utamanya terletak di atas perbukitan. Kami sampai di ujung bukit, tepat saat senja. Sungguh landscape yang cukup cantik. Sore itu cuaca sungguh dingin buatku, tapi di sisi lain langit begitu cantiknya. Banyak sekali orang disini, sebagian besar berpasangan. Melihat mereka sungguh membuatku haru. Ada banyak bahagia yang bisa kita lihat di wajah mereka, itulah mengapa gembok-gembok cinta dibuat disini. Aku tertegun