Langsung ke konten utama

Blanco




       Berbicara tentang cinta, mungkin sosok ini cukup pantas untuk mewakilinya. Kecintaan terhadap seni, khususnya seni lukis, kecintaaan dan passion nya akan sosok wanita yang menemani hingga akhir hayatnya, kecintaannya akan dua hal, Ubud dan Ni Rondji. Sosok ini, Don Antonio Blanco. 
     Pagi itu Ubud sedikit terik, kami memacu sepeda motor menuju kawasan Jalan Campuhan, dibutuhkan beberapa menit perjalanan dari Monkey Forest tempat awal tujuan kami hari itu. Pepohonan rindang di kanan kiri jalan menemani perjalanan kami, tepat di jalan yang agak menanjak, persis di samping Campuhan Bridge, disitulah rumah sekaligus museum sang Maestro berdiri megah. 
      Sebuah lorong kecil dengan tebaran bunga kuning di setiap ruas tangga membawa kami berjalan menuju halaman asri yang tidak begitu luas, tempat resepsionis museum menyambut kami dengan ramah. Wanita manis itu lantas memberikan tiket masuk yang harus kami bayar sebesar 30 ribu rupiah per orang dan mempersilahkan kami masuk, dengan tidak lupa menyelipkan bunga kamboja di sela-sela telinga kami berdua.
      Kami disambut seekor burung kakak tua berbulu indah warna-warni, bertengger dengan lincahnya di halaman utama museum. Sedikit terperangah saya kala itu, halaman museum ini sungguh asri dan luas. Rumputnya terawat dengan baik, begitu pun dengan pepohonan serta bunga-bunga di sekitar bangunan utama, angina sepoy-sepoy siang itu menambah sejuk halaman museum. Gelaran karpet merah menyambut kami ketika memasuki museum ini. Laki-laki berperawakan tinggi besar berseragam hitam pun menyambut kami dengan terlebih dulu menanyakan tiket masuk serta dia juga tak lupa mengingatkan kalau tidak boleh menyalakan kamera di dalam museum. 
     Museum Blanco ini terdiri dari dua lantai, dekorasi nya terlihat mewah dengan unsur Eropa. Kursi-kursi besar, tirai-tirai yang menjulang serta musik khas Spanyol menemani kami siang itu. Tak ada kata-kata yang tepat yang bisa saya rangkai untuk menggambarkan museum ini. Masuk ke dalam museum ini seperti memasuki jiwa dan raga Blanco, hati Blanco.  Begitu personal menurut saya, kebanyakan lukisan-lukisan yang dipajang merupakan kisah perjalanan si maestro ini. Sosok-sosok yang berada di lukisan Blanco merupakan lukisan-lukisan orang terdekatnya, dari mulai anak-anak sampai istriny, seorang wanita Bali, Ni Rondji. 
    Saya tertegun beberapa saat saya menghentikan langkah di depan sebuah lukisan berukuran besar yang tak lain adalah lukisan sosok istrinya, Ni Rondji. Lukisan ini menyihir saya, saya bisa merasakan bagaimana agungnya kisah cinta mereka, tak hanya ada pada satu lukisan, tetapi lebih. Bagaimana Blanco mendeskripsikan setiap inci lekuk tubuh wanitanya itu. Ni Rondji untuk Blanco, bahkan Blanco secara jujur menggambarkan pengalaman seksual mereka ke dalam salah satu lukisan yang ada di museum itu. Terlihat gila tapi itulah Blanco, vulgar?porno?saya rasa tidak.
      Ruangan-ruangan di museum ini begitu membuat saya berpikir, lantas berpikir lagi, dan lagi. Mata dan pikiran saya seakan ikut menjelajah masa-masa dimana Blanco dengan segenap rasa nya, segenap kecintaannya membuatnya bertahan di satu tempat dan satu nama sampai akhir usianya. Begitu besar kecintaanya yang mungkin hampir tidak masuk akal untuk orang awam seperti saya ini. Saya tertegun keluar museum, satu kalimat keluar dari mulut saya waktu itu “He is insane..(Dia gila)” teman saya terdiam mengiyakan.



Photo:
http://www.film-locations.com/viewfinder/bali/don_antonio/don_antonio02.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hi Lawu Hi!

Gunung Lawu yang mempunyai  ketinggian 3265 MDPL ini berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur,yaitu di kawasan Karang anyar (Wonogiri-Jateng) dan Magetan (Jawa Timur). Sore hari yang cerah menemani perjalanan ke basecamp Lawu yang berjarak sekitar 2 jam an dari tempat saya dan teman-teman berkumpul. Kabut tebal menyambut hangat saat kami baru sampai di base camp. Suasana di sekitar base camp Cemoro Sewu saat itu terbilang ramai. Banyak muda-mudi yang melewatkan sorenya untuk sekedar berkumpul di area tersebut, tak heran karena mungkin persis di depan base camp merupakan jalur perbatasan antar propinsi. Saya dan beberapa teman memilih untuk nongkrong di warung kopi sembari menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan menuju base camp. Sebelummnya karena kami sampai terlalu sore, maka pendakian diputuskan untuk dimulai setelah waktu maghrib. Cuaca cerah namun berkabut menemani pendakian kami malam itu. Sekitar pukul 7 dan dimulai dengan doa bersama, kami mulai m

Tepi Campuhan

     *dua mingguan sebelum Bali,badan drop,gejala typhus* “Jadi ..Ma..kamu jadi ke Ubud, ngapain?” “Aku mau tracking di Campuhan” “ye..udah gitu doank..kamu jauh-jauh ke Ubud cuma mau tracking di Campuhan..emang di Jawa gak ada tempat buat tracking ?” “ya..gak tau ya..aku tujuan utama si itu..you know it’s like falling in love at first sight, aku harus kesana” jawabku lempeng “hmmm…” temanku sedikit menggugam       *dia, partner traveling (whatsaap)* “Ndo, gimana kondisimu?baikan belum?” “udah ke dokter, disuruh bed rest…harus sembuh, terlanjur beli tiket hehehe” “Bali jangan dipikirin dulu..cepet sembuh,bed rest…hug..hug..hug” “…… …… …… ……. …… ……. …… ……. ……… ……….” lelap *malam sebelum Bali* “everything is fine..everything in control..enjoy the journey..gak ada yang tertinggal…gak ada” menggumam *********************************************** *Bali hari terakhir* Hari terakhir di Bali, kami habiskan dengan menikmati Ubud saja, hanya Ubud.

Senja Di Namsan

Hari pertama di Seoul, belum sampai setengah hari. Dan sore   itu kami bergegas menuju Namsan Tower. Tak pernah terpikirkan bahwa Korea Selatan menjadi negara kesekian yang berhasil aku kunjungi. Cuaca begitu dinginnya dan ini merupakan pengalaman pertamaku merasakan kejamnya musim dingin di negara yang terkenal dengan industri K-Pop nya ini. Menikmati Namsan juga bukan perkara mudah, kita diharuskan menggunakan kereta gantung menuju menara utama. Tidak untuk yang takut ketinggian, karena kereta gantung di Namsan bisa terbilang cukup tinggi. Bagaimana tidak menara utamanya terletak di atas perbukitan. Kami sampai di ujung bukit, tepat saat senja. Sungguh landscape yang cukup cantik. Sore itu cuaca sungguh dingin buatku, tapi di sisi lain langit begitu cantiknya. Banyak sekali orang disini, sebagian besar berpasangan. Melihat mereka sungguh membuatku haru. Ada banyak bahagia yang bisa kita lihat di wajah mereka, itulah mengapa gembok-gembok cinta dibuat disini. Aku tertegun