Langsung ke konten utama

Pulang



Malam terakhir di Ubud aku habiskan hanya dengan mengobrol dengan teman jalanku di sebuah kedai kopi yang berada di  jalan Sriwedari bernama Seniman Coffee. Tempat ini aku tahu dari rekomendasi beberapa blog perjalanan yang ada di internet, good rate place. Tempatnya terbilang mungil dengan hanya ada beberapa bangku untuk pengunjung, lampu terang, plus tulisan besar di atas pintu “Everything Happens To Everyone” berhasil menarik perhatianku, harusnya berlanjut “…..For A Reason” kan? Semua hal terjadi pada setiap seseorang untuk sebuah alasan. Good quote.

Kedai ini memiliki dapur yang bisa secara langsung pengunjung lihat dari tempat mereka duduk.  Dari tempatku duduk, aku bisa melihat langsung para barista menyiapkan kopi-kopi pesanan pelanggan, aroma-aroma racikan kopi bisa sangat dengan gamblang aku rasakan dengan indra penciumanku. 

Kami memilih tempat duduk persis di depan meja barista, sebenernya aku ingin yang tepat di jendela itu karena tempat duduk disini cukup tinggi untuk ku yang hanya 150 cm ini tapi ada dua orang turis asing yang menempati nya. Ahhh..seperti nya doaku terkabul, tak selang berapa lama kami memesan, dua turis itu pergi meninggalkan kedai jadi kami pun memilih untuk pindah tempat persis di jendela kedai. Untuk hati yang gak keruan malam itu aku pesan double espresso, cukup itu saja. Ris ini memulai percakapan, banyak yang dia ceritakan malam itu, dari mulai susunan kabinet baru awal jabatan Jokowi sebagai presiden sampai entah lah. Sebenernya aku bukannya malas untuk menanggapi cuma aku memang sedang tidak ingin bicara banyak hal jadi aku timpali saja seperlunya. Di tengah dia bicara, di tengah senyum setengah melingkar di bibirnya, aku tertegun menatap nya lurus, hanya membalas satu dua patah kata saja. Batinku mengatakan hal yang lain…

“Ris..aku gak mau pulang,

aku gak mau pulang besok,

bisa gak sehari lagi gitu?did you hear me?

Aku belum mau pulang”


Lamunanku terhenti saat barista mengantarkan pesanan keduaku, banana smoothies dan masih di tengah obrolan ku dengan Ris yang aku tangkap samar-samar. Banana Smoothies kedai ini cukup menjadi teman terakhir kami malam itu, mengantar kami pulang karena besok pagi dengan penerbangan pertama kami mau tidak mau harus meninggalkan tempat ini.


Ubud pukul 2 dini hari, terlalu pagi untuk berkendara. Kami harus bangun sepagi itu karena pesawat berangkat jam 6 pagi waktu Bali, butuh kurang lebih satu jam berkendara dari Ubud menuju Ngurah Rai. Sepeda motor kami melaju kencang, dengan bahan bakar yang hampir habis. Cukup sulit menemukan pengisian bahan bakar di Ubud di waktu dini hari seperti ini, semua tutup. Bersyukurlah ada satu pengecer yang buka pagi itu. Kami meneruskan perjalanan menuju Denpasar.


Bandara Ngurah Rai pun belum bersiap, terlalu pagi, terlalu lengang. Selagi menikmati secangkir coklat panas yang Ris belikan,sedang dia harus menemui Putu untuk mengembalikan motor yang kami sewa, aku berpikir sangat banyak pagi gitu. Setengah bersandar di ransel menahan kantuk, aku merekam lagi perjalanan ini, setiap kejadian yang aku ingat karena kejadian-kejadian ini mungkin tak pernah terulang lagi, aku ingat semampuku, aku taruh dalam kotak memori.


Langkah kami terhenti di ruang tunggu Bandara Ngurah Rai, sudah mulai ramai oleh penumpang pagi itu. aku memasang ear phone di telingaku, aku mainkan Trembling Hands nya The Temper Trap di volume yang kecil supaya aku masih bisa mendengar Ris yang duduk di sebelah kiriku berbicara. Di tengah obrolan yang random dan musik sayup-sayup di telinga, mataku tak berhenti menjelajah ruangan ini. Ruangan ini mulai riuh oleh penumpang, dari sini aku bisa melihat beberapa pesawat yang telah siap di landasan, dan tentu saja sunrise yang menjadi background nya karena ruangan ini memiliki dinding dari kaca sehingga aktivitas di landasan udara dengan mudah bisa aku lihat.

Ada bapak di ujung sana yang sibuk membaca koran, wanita cantik bersepatu merah berbaju blazer rapi, sebelah kanan ku ada remaja perempuan yang tak kuasa menahan kantuk sehingga dia terlihat erat sekali memegang sebuah bantal guling yang cukup usang untuk sandaran, aku sendiri? Jangan tanyakan. Aku pulang, Ris pulang, semua orang pulang. Pulang bisa jadi akhir, pilihan terakhir hatimu untuk tinggal. Buatku pulang adalah awal, dimana rekaman-rekaman itu aku rangkai, aku bebas memutar ulang, aku ceritakan lagi dan lagi, mungkin juga aku hanya akan menyimpannya. Pulang berarti awal, untuk merangkai mimpi selanjutnya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja Di Namsan

Hari pertama di Seoul, belum sampai setengah hari. Dan sore   itu kami bergegas menuju Namsan Tower. Tak pernah terpikirkan bahwa Korea Selatan menjadi negara kesekian yang berhasil aku kunjungi. Cuaca begitu dinginnya dan ini merupakan pengalaman pertamaku merasakan kejamnya musim dingin di negara yang terkenal dengan industri K-Pop nya ini. Menikmati Namsan juga bukan perkara mudah, kita diharuskan menggunakan kereta gantung menuju menara utama. Tidak untuk yang takut ketinggian, karena kereta gantung di Namsan bisa terbilang cukup tinggi. Bagaimana tidak menara utamanya terletak di atas perbukitan. Kami sampai di ujung bukit, tepat saat senja. Sungguh landscape yang cukup cantik. Sore itu cuaca sungguh dingin buatku, tapi di sisi lain langit begitu cantiknya. Banyak sekali orang disini, sebagian besar berpasangan. Melihat mereka sungguh membuatku haru. Ada banyak bahagia yang bisa kita lihat di wajah mereka, itulah mengapa gembok-gembok cinta dibuat disini. Aku tert...

Satu Kata

Kuletakkan telepon seluler diatas meja. Tidak berapa lama setelah pacarku menelepon, ada panggilan telepon dari nomor yang tak kukenal. Aku amati sebentar nomor tersebut, sampai aku putuskan untuk menerima panggilan tersebut. Saat itu tahun 2014.  Suara laki-laki, tak asing dan sudah lama tak kudengar. Aku bertanya untuk memastikan, mengingat nomor tersebut tidak tersimpan. Dia pun menjawab, dan dugaanku benar. Suara itu memang dia. Laki-laki yang pernah kukenal, laki-laki yang pernah mengisi hatiku tiga tahun sebelumnya. Ingatanku kembali ke masa tiga tahun sebelumnya. Di sepanjang jalan Malioboro, kami bergandengan tangan menikmati riuhnya malam di Yogyakarta. Lamunanku berkutat pada tahun-tahun tersebut. Dia pernah ada disana, dihatiku meski tak lama.   Setelah tiga tahun, dia kembali. Lamunanku terhenti saat dia menanyakan kabar, menanyakan pacarku, apakah aku bahagia sekarang. Aku jawab sekenanya karena diantara perasaan bingung, jujur aku pun tak tahu harus...

Surat Cinta dari Ubud

Perjalanan hari ke-22 menjelang Nyepi, Ubud. Pagi ini diantara rasa lelah, aku beranikan diri beranjak dari tempat tidur. Yang nyatanya beberapa menit kemudian aku dibuat malas bergerak dari teras kamar, terdiam sampai menjelang siang melihat jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan hijau, dan dipenuhi berbagai bunga-bunga tropis khas Bali. Aku habiskan pagi itu dengan memikirkan banyak sekali hal, banyak kejadian yang selama dan sampai sekarang belum aku temukan jawabannya. Cinta, masa depan, pekerjaan..hal-hal duniawi. Cinta?helaan nafas cukup panjang terdengar dari dalam rongga suaraku. Cinta adalah hal yang menjatuhkanku dengan sangat keras beberapa waktu lalu, tapi sangat sulit untuk aku teriakan. Aku kalah dan dikhianati keadaan berualang kali. Aku memilih untuk diam dan menahannya sangat dalam. Pada akhirnya aku layaknya orang yang hampir mau bunuh diri. Betapa aku ingat ini lah yang membuatku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan pekerjaan hampir satu bulan. Aku tid...