Menjelang tengah hari,
kami melanjutkan perjalanan menuju Pura Tirta Empul di Tampak Siring.
Perjalanan dari Desa Penglipuran membutuhkan waktu tak kurang dari satu jam
lamanya. Sepeda motor yang kami kendarai melaju dengan kecepatan sedang.
Jalanan menuju Tampak Siring terbilang sudah bagus. Mataku kembali dimanjakan
dengan landscape
perkampungan-perkampungan di pinggiran Bali yang jauh dari kesan kehidupan kota
layaknya yang ada di Kuta Selatan. Anjing-anjing kampung berkeliaran bebas
sepanjang jalan, para warga lokal yang dengan asyik nya bercengkerama di
halaman rumah yang tidak segan untuk menunjukkan arah dikala kami tersesat,
rumah-rumah khas Bali pedesaan, hutan-hutan bambu di kanan kiri jalan, kebun
kopi khas Bali pun menemani perjalanan kami menuju Tampak Siring siang itu.
Papan petunjuk menuju
Pura Tirta Empul membawa kami menuruni jalan beraspal yang agak curam, kami
sampai persis di parkiran kendaraan yang berada di depan loket masuk. Cukup
ramai siang itu, nampaknya akan ada acara sembahyang di dalam pura ketika aku
tersadar berada di tengah kerumunan warga khas dengan pakaian adat berwarna
putih untuk laki-laki dan perempuan-perempuan Bali dengan kebayanya. Benar
saja..memang ada acara sembahyang di dalam pura sesaat kami masuk. Untuk masuk
ke dalam pura, kita diwajibkan untuk memakai sarung atau kain berwarna kuning
untuk dililitkan.
Aku tercenung di luar
pura utama saat ritual sembahyang berlangsung, melihat sekeliling. Persis di
tempatku berdiri, ada sebuah pintu besar yang menutup tanah tinggi di
belakangnya. Tanah yang agak tinggi tersebut merupakan Istana Tampak Siring,
tempat presiden pertama Indonesia Soekarno tinggal dan konon untuk masuk ke
tempat ini, kita harus mengantongi surat izin dari pihak berwenang.
Dari struktur bangunan-bangunan
di pura, aku bisa melihat pura ini mungkin saja sudah ada dan berdiri kokoh
sejak berabad-abad yang lalu. Dan memang benar dari informasi yang aku
dapatkan, Tirta Empul sudah ada sejak tahun 960 A.D dan dibangun pada jaman
Raja Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Jadi bisa dibayangkan, berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan bangunan ini. Dan layaknya
pura-pura di Bali, bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu Jaba Pura
(Halaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah), dan Jeroan (Halaman Dalam).
Aku beranjak dari
tempat persembahyangan, aku melangkahkan kaki menuju Jaba Tengah. Di Jaba
Tengah terdapat kolam yang menjadi icon
Pura Tirta Empul. Dua buah kolam persegi empat panjang tersebut mempunyai 30
pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap Selatan. Masing-masing
pancuran mempunyai nama-nama mereka sendiri, seperti Pengelukan, Pebersihan,
Sudamala, dan Pancuran Cetik (Racun). Konon, Pancuran Cetik dan nama Tirta
Empul mempunyai hubungan erat dengan mitologi pertempuran Mayadewa (Raja Batu
Anyar) melawan Bhatara Indra.
Dalam mitologi itu
diceritakan bahwa Raja Mayadewa adalah Raja yang sewenang-wenang terhadap
rakyat nya, dia bahkan tidak mengijinkan rakyat nya untuk melaksanakan
upacara-upacara keagamaan. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka
Para Dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Akhirnya dia
dapat dikalahkan dan berhasil melarikan diri ke Utara Desa Tampak Siring. Dengan
menggunakan kesaktian, Mayadenawa menciptakan sebuah mata air Cetik (Racun)
yang mengakibatkan banyaknya para laskar Bhatara Indra yang gugur akibat
meminum air tersebut. Melihat hal ini, Bhatara Indra segera menancapkan
tombaknya. Dari tombak tersebut memancarlah air dari tanah (yang kemudian
dinamakan Tirta Empul), air suci ini digunakan untuk memerciki para laskar yang
gugur sehingga dapat hidup kembali.
Helaan nafas kagum
mengakhiri perjalananku ke Tirta Empul siang itu. Banyak hal yang aku temukan
di tempat ini. Cerita sejarah dan budaya pendahulu kita selalu menarik untuk
dijelajahi, Seakan-akan kita melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, bahkan jauh
sebelum bangunan ini berdiri. Aku tak keberatan mendengarkan kidung pujian yang
mereka lantunkan di tempat ini, aku melihat sendiri dengan mata kepalaku
bagaimana ritual yang mereka lakukan, bagaimana mereka menyerahkan seluruh jiwa
hanya untuk yang Esa. Buatku ini pelajaran untuk menerima perbedaan, perbedaan
besar dalam memaknai Tuhan. Karena dari perbedaan itu akan nampak seberapa
besar kah keyakinan kita. Bukankah menghargai perbedaan tanpa harus saling
menjatuhkan dan merasa paling superior dan benar, tanpa adu senjata yang memang
sebenarnya tak pelu itu merupakan cerminan kongkrit atas iman yang kita punyai?
Komentar
Posting Komentar