Agak lupa perjalanan ku
ke Ijen 2013 lalu, tapi sebentar aku ingat-ingat dulu. Beberapa detail
memaksaku untuk menulis ala kadarnya, tidak ada rekaman gambar juga karena waktu
itu aku ingat, semua foto yang aku hasilkan rusak, tak ada sisa, hanya ada satu
foto yang selamat.
Perjalanan dari
Madakaripura menuju Ijen yang terletak di Kabupaten Bondowoso berlangsung
kurang lebih enam jam lamanya. Mobil yang kami tumpangi melaju cepat, cukup
lancar. Kami berencana mengejar sunrise dan Api Biru Ijen. Aku memilih untuk
tidur sepanjang jalan, aku perlu menghemat tenaga juga karena dini hari nanti
aku akan membutuhkannya.
Tepat pukul 01.30 dini
hari mobil kami sampai di pelataran parkir kawasan Gunung Ijen, Pos Paltuding. Setengah
tersadar, aku mencoba untuk membuka mata. Masih terlampau dini untuk bangun,
masih terlalu gelap untuk memulai. Berbekal headlamp, aku keluar mobil dengan
enggan. “Damn it!dingin banget” umpatku dalam hati. Mendadak sekujur tubuh ku
diserang dingin, dingin yang menusuk kulit dengan kejamnya. Aku tersadar, itu
bulan Oktober, puncak kemarau. Memutuskan untuk pergi ke daerah pegunungan di
puncak kemarau merupakan tantangan tersendiri. Gelap, sinar dari headlamp ku
berbendar ke seluruh penjuru. Aku hanya melihat pepohonan dan pepohonan lagi,
ada banyak warung makan sepertinya. Tapi hanya ada satu dua yang buka. Aku
berlari kecil menuju warung kecil di ujung sebelah barat, karena nampaknya
mereka membuat api unggun. Tujuan ku hanya untuk membuat tubuh hangat sedikit
karena jujur saja aku kewalahan dengan dinginnya cuaca malam itu.
Tiga puluh menit
kemudian, kami berkumpul, membentuk lingkaran, berdoa untuk memulai trekking menuju
kawah Ijen. Trekking dimulai cukup awal, sebenarnya tujuan nya adalah untuk
bisa melihat melihat si legendaris “Api Biru (Blue Fire)”. Kenapa Api Biru ini
jadi begitu spesial nya, bahkan sampai menarik banyak orang-orang mancanegara
berkunjung ke Ijen? karena hanya ada dua di dunia, di Islandia dan Indonesia. Menurut
beberapa sumber, fenomena “Api Biru” terjadi karena dipicu oleh terbakarnya gas
metana oleh rembesan panas bumi yang mencapai 600 derajat celcius. Untuk melihat
Blue Fire dengan jelas, kita disarankan untuk datang lebih awal sebelum
matahari terbit. Itu kalau kita beruntung, karena tidak selalu muncul setiap saat.
Kami memulai, jalanan
awal trekking agak sedikit menanjak dengan kemiringan antara 25-35 derajat.
Jalurnya cukup lebar, muat untuk sekitar 4 orang. Yang agak berat buatku selain
suhu waktu itu adalah debu. Karena kemarau, jalur nya sangat berdebu, cukup
untuk membuatku kesulitan dalam mengatur nafas. Sesaat aku tertegun, persis di
samping kanan, seorang bapak paruh baya memanggul dua keranjang kosong. Aku
perhatikan lagi, beliau bahkan berjalan lebih cepat dari rombongan kami yang
usianya hampir separuh usia beliau. Tak terlihat nafas yang putus-putus,
sesekali menyapa, dan beberapa menit kemudian beliau bahkan sudah tak terlihat,
jauh meninggalkan kami yang masih kerepotan untuk menyesuaikan diri dengan suhu
pegunungan.
Aku teringat artikel
yang aku baca sebelum berangkat, salah satu alasan aku pergi ke Ijen. Jadi
bapak paruh baya yang kami jumpai itu adalah penambang belerang. Selain “Api
Biru”, Ijen merupakan penghasil belerang. Karena kandungan belerang yang cukup
banyak, mungkin ada puluhan bahkan ratusan penambang tradisional di tempat ini.
Para penambang ini terbiasa untuk naik turun gunung untuk membawa belerang. Sama
sekali bukan pekerjaan yang sepele karena resiko nya sendiri cukup membuatku
bergidik. Bayangkan saja, dalam sehari mereka dapat mengangkut berkilo-kilo
belerang lebih dari satu kali naik turun, belum lagi mereka harus menggali sumber
belerang yang pekatnya asam belerang bisa saja membunuh mereka sewaktu-waktu.
Maklum saja, peralatan yang mereka gunakan sangat sederhana untuk pekerjaan
dengan resiko yang besar. Melihat kegigihan para penambang yang rela
mempertaruhkan nyawa demi sesuap nasi itu cukup “menamparku”, sungguh tidak
tahu diri kalau sampai di tanjakan pertama saja aku “mengumpat” cukup keras.
Aku berjalan melambat,
berhenti sejenak, memejamkan mata, lalu kuputarkan tubuhku. Cukup satu putaran
aku kembali ke posisi semula, masih di tempat aku berdiri, seketika nafasku tak
seberat sebelum nya. Aku membuka mata, menengadah ke langit-langit..kulihat
semilyar bintang-bintang bersinar dengan terang nya, terasa sangat dekat dan
berkerlip kerlip riang. Aku kembali terdiam, mataku melebar hampir tak percaya
langit malam itu sungguh indah. Aku kembali berjalan dengan ringan, tak seberat
sebelumnya.
Sudah ketinggian 2000,
dingin nya Ijen pagi itu terasa tidak memberi ampun ke badanku yang mulai
lelah. Suara gaduh terdengar hanya beberapa meter di depan, itu tandanya
beberapa dari kami telah sampai ke bibir kawah, aku harap begitu.
Jalur masih gelap,
waktu masih subuh dengan dingin yang semakin menusuk, aku terduduk lemah persis
di bibir kawah. Aku tak sanggup melanjutkan ke tempat “Api Biru” , aku memilih
untuk menghangatkan diri di sebuah cerukan, melipat kaki dan kupegang
erat-erat, untung saja beberapa orang membuat api unggun di cerukan tempatku
bersandar. Beberapa temanku memilih bergabung, mereka pun tak sanggup untuk
melanjutkan. Beberapa yang lainnnya melanjutkan perjalanan menuju “Api Biru”.
Dari tempaku duduk, lokasi “Api Biru” masih cukup jauh. Jalur nya menurun curam,
cukup sulit dengan penerangan yang minim dan harus sangat hati-hati kalau
tidak, salah-salah kita bisa terlempar ke dalam kawah.
Aku terdiam cukup,
cukup lama sampai aku tersadar matahari mulai memperlihatkan cahaya nya. Aku bangkit,
ini sungguh panorama yang dramatis. Perlahan lahan lingkaran berwarna tosca
terlihat jelas, itu dia kawah Ijen dengan bebatuan melingkar gagah di sekitar
kawah. Aku bergumam, tak apa aku tak berhasil dengan “Api Biru”, aku cukup puas
dengan apa yang aku lihat sekarang. Aku bersyukur. Aku bersyukur satu mimpi
telah membawaku ke tempat ini. Ijen..tentang kegigihan, tentang keikhlasan. Di luar
kekayaan alam berupa belerang, Ijen sungguh tentang perjuangan hidup, penambang
yang tak pernah lelah. Ijen tak hanya cantik dan menyakitkan, tapi Ijen juga
sumber kehidupan. Satu fakta yang tak pernah bisa kita sangkal.
Komentar
Posting Komentar