Langsung ke konten utama

Teman Bicara



Aku resah beberapa tahun belakangan gegara gadget, smartphone, bahkan social media. Ada yang salah dengan komunikasi manusia sekarang. Sebenarnya aku maklum, aku pun pengguna aktif tiga hal itu. Tetapi di sisi lain aku penikmat obrolan santai di manapun yang melibatkan tatapan mata, suara, bahasa tubuh lainnya, tak hanya bentuk teks semata. Bahkan saking males nya ngobrol lewat smartphone dan rindunya jadi manusia normal tanpa gadget, aku terkadang suka sekali menempuh beberapa jam perjalanan hanya untuk bertemu teman dan ngobrol. Ya tentu saja, kalau dipikir itu menyedihkan. 

Kenapa lama kelamaan hal berbau “gadget” membuatku tak nyaman lagi?come on, kita makhluk sosial kan ya?yang membutuhkan benar-benar komunikasi verbal dan berbagi rasa satu sama lain kan?aku resah ketika ngobrol santai yang harusnya sangat menyenangkan menjadi terasa kosong saat semua emosi yang ada hanya berbentuk teks . Sungguh, mendengar lawan bicara kita tertawa lebar itu jelas lebih membahagiakan dari emoticon mana pun.

Aku beruntung pagi itu, bertemu seorang laki-laki nyentrik yang tengah trekking di Campuhan. Hanya berawal dari sapaan selamat pagi, sampai obrolan panjang sepanjang arah pulang.  Jujur saat itu, aku lagi bebal, kelewat bebal. Traveling lebih dari dua minggu ke Indochina membuatku sampai ke Ubud dengan kondisi badan dan mental yang lelah, disitulah aku merasa butuh teman bicara. 

Dia bercerita panjang lebar. Tentang kenapa dia datang ke Ubud, tentang kecelakan saat diving yang menyebabkan dia gak pernah bisa lagi melakukan hobinya ini. Dia bahkan bercerita kalau dia hobi banget makan durian. That’s it, I like this man! I mean as a person, as a stranger dan sebagai teman ngobrol yang sesaat dan tak sengaja aku temui. Obrolan kami waktu itu pun bukan obrolan “hebat” tentang misalnya global warming atau kenapa anggota DPR kita suka banget “ketiduran” saat rapat. Obrolan kami cuma sebatas warung makan enak dan bayar sesuka nya di Ubud dan itu warung benar-benar ada.

He saved my day. At least dari kebebalan ku beberapa hari itu sejak sampai di Indonesia. Orang nya benar-benar ada. Kami berinteraksi layaknya segala macam teknologi belum ditemukan. Aku senang pagi itu, bahkan di akhir trekking dia masih bicara panjang lebar. 

“Oh iya..kalau mau diving jangan di Ubud” celetuknya mengakhiri obrolan, tersenyum lebar.

Bahkan kami lupa untuk berkenalan, I don’t know his name, It’s just like a random great conversation. Without never know ours name but we really enjoy to meet each other, for real of course.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hi Lawu Hi!

Gunung Lawu yang mempunyai  ketinggian 3265 MDPL ini berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur,yaitu di kawasan Karang anyar (Wonogiri-Jateng) dan Magetan (Jawa Timur). Sore hari yang cerah menemani perjalanan ke basecamp Lawu yang berjarak sekitar 2 jam an dari tempat saya dan teman-teman berkumpul. Kabut tebal menyambut hangat saat kami baru sampai di base camp. Suasana di sekitar base camp Cemoro Sewu saat itu terbilang ramai. Banyak muda-mudi yang melewatkan sorenya untuk sekedar berkumpul di area tersebut, tak heran karena mungkin persis di depan base camp merupakan jalur perbatasan antar propinsi. Saya dan beberapa teman memilih untuk nongkrong di warung kopi sembari menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan menuju base camp. Sebelummnya karena kami sampai terlalu sore, maka pendakian diputuskan untuk dimulai setelah waktu maghrib. Cuaca cerah namun berkabut menemani pendakian kami malam itu. Sekitar pukul 7 dan dimulai dengan doa bersama, kami mulai m

Tepi Campuhan

     *dua mingguan sebelum Bali,badan drop,gejala typhus* “Jadi ..Ma..kamu jadi ke Ubud, ngapain?” “Aku mau tracking di Campuhan” “ye..udah gitu doank..kamu jauh-jauh ke Ubud cuma mau tracking di Campuhan..emang di Jawa gak ada tempat buat tracking ?” “ya..gak tau ya..aku tujuan utama si itu..you know it’s like falling in love at first sight, aku harus kesana” jawabku lempeng “hmmm…” temanku sedikit menggugam       *dia, partner traveling (whatsaap)* “Ndo, gimana kondisimu?baikan belum?” “udah ke dokter, disuruh bed rest…harus sembuh, terlanjur beli tiket hehehe” “Bali jangan dipikirin dulu..cepet sembuh,bed rest…hug..hug..hug” “…… …… …… ……. …… ……. …… ……. ……… ……….” lelap *malam sebelum Bali* “everything is fine..everything in control..enjoy the journey..gak ada yang tertinggal…gak ada” menggumam *********************************************** *Bali hari terakhir* Hari terakhir di Bali, kami habiskan dengan menikmati Ubud saja, hanya Ubud.

Senja Di Namsan

Hari pertama di Seoul, belum sampai setengah hari. Dan sore   itu kami bergegas menuju Namsan Tower. Tak pernah terpikirkan bahwa Korea Selatan menjadi negara kesekian yang berhasil aku kunjungi. Cuaca begitu dinginnya dan ini merupakan pengalaman pertamaku merasakan kejamnya musim dingin di negara yang terkenal dengan industri K-Pop nya ini. Menikmati Namsan juga bukan perkara mudah, kita diharuskan menggunakan kereta gantung menuju menara utama. Tidak untuk yang takut ketinggian, karena kereta gantung di Namsan bisa terbilang cukup tinggi. Bagaimana tidak menara utamanya terletak di atas perbukitan. Kami sampai di ujung bukit, tepat saat senja. Sungguh landscape yang cukup cantik. Sore itu cuaca sungguh dingin buatku, tapi di sisi lain langit begitu cantiknya. Banyak sekali orang disini, sebagian besar berpasangan. Melihat mereka sungguh membuatku haru. Ada banyak bahagia yang bisa kita lihat di wajah mereka, itulah mengapa gembok-gembok cinta dibuat disini. Aku tertegun