Langsung ke konten utama

Ego





Belum sampai pukul 10 pagi, pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan lancar Phnom Penh. Diantara rasa lelah karena semalaman mau tidak mau menginap seadanya di Kuala Lumpur International Airport, kami berjalan diantara penumpang yang turun untuk mengambil bagasi. Aku suka bandara Phnom Penh, di sepanjang koridor terminal kedatangan kita bisa melihat landasan pesawat karena hampir dinding nya merupakan dinding kaca jadi semua aktifitas pesawat bisa kita lihat dengan jelas. Begitu juga ruang tunggu penumpang pun dengan ruang tunggu penumpang karena hanya terpisah oleh dinding kaca, aktifitas penumpang tak luput dari pandangan mata.

Phnom Penh, tujuan pertama diantara beberapa negara yang nanti nya akan kami datangi. Cuaca  panas pagi itu tak menyurutkan langkah kaki kami. Kami berjalan keluar setelah sepakat untuk mengganti provider telepon selular dengan nomor lokal, ini kami lakukan untuk menghemat pengeluaran tentunya. Lalu kami berjalan keluar bandara, beberapa pengemudi taksi dan tuk tuk menyerobot menawarkan armada mereka. Pilihan kami saat itu jatuh pada Hier. Pria yang saat itu memakai kemeja biru polkadot dengan kacamata hitam yang diselipkan di atas kepala ini setuju untuk mengantar kami seharian. Tujuan kami yang pertama adalah Choeung Ek Genoside Center, yang ternyata jarak nya agak jauh dari bandara.

Sekilas dari perjalanan menuju Choeung Ek, jujur saja ini jauh diluar gambaran ku tentang Phnom Penh. Kupikir kota ini sama saja dengan Jakarta, tetapi boleh aku bilang masih mending Jakarta. Aku lihat ibu kota Kamboja ini memang sedang getol-getolnya membangun. Aku lihat beberapa ruas jalan dan bangunan-bangunan nampak sedang dibangun. Makanya kota ini sekilas jauh dari kesan rapi dan  lebih semrawut. 

Tuk tuk Hier sampai di pelataran museum choeung ek. Dengan santai aku mengambil ransel ku dan berjalan menuju pintu masuk museum. Untuk masuk ke museum ini kita diharuskan membayar sekitar enam dollar untuk setiap orang nya. Petugas museum akan memberikan juga sebuah peta museum dan alat penerjemah yang bisa kita atur sendiri sesuai bahasa yang kita gunakan, sayangnya bahasa Indonesia tidak tersedia, aku sendiri lebih memilih bahasa Melayu yang untungnya ada dan masih bisa dimengerti.

Aku ingat sekali setelah tak kurang dari lima langkah dari pintu masuk dan baru saja aku nyalakan alat penerjemah yang akan memandu dan mejelaskan mengenai tempat ini, aku mendadak malas untuk berjalan masuk ke area museum. Setelah aku dengan jelas sekali mendengar dari alat penerjemah kalau tempat ini merupakan saksi bisu tempat penyiksaan dan pembantaian orang-orang tidak bersalah di masa rezim Pol Pot berkuasa. Aku ingat aku menghentikan langkah ku seketika itu dan mendadak kelu.

Secara fisik, museum ini berbeda dengan museum-museum biasanya. Karena Choeung Ek ini hanya berupa ladang yang cukup luas dengan satu bangunan tinggi berada di tengah-tengah area, yang pada akhirnya aku tau kalau bangunan tinggi itu merupakan tempat penyimpanan kerangka-kerangka korban pembantaian, bahkan tersusun rapi disesuaikan dengan usia saat korban-korban itu dibunuh. Aku kelu, perasaan ku tak menentu ditambah bau dupa yang memenuhi ruangan yang hanya muat satu badan orang dewasa ini. Imajinasiku sekan diajak menjelajah kembali di tahun 1970an dimana kejadian itu berlangsung, betapa chaos dan mengerikan nya tempat tersebut. 

Di setiap tempat di area itu akan terdapat sebuah papan penjelasan dalam bahasa Inggris tentang kegunaan tempat-tempat itu. Seperti yang aku duga, tidak jauh-jauh dari kata pembunuhan, pembantaian dan penyiksaan. Aku bahkan beberapa kali mendapati pengunjung yang tak kuasa membendung air mata mereka, ada juga yang mematung cukup lama ntah apa yang mereka pikirkan, mungkin sama dengan ku, perasaan ngeri dan ntah lah. Bahkan ada satu pohon yang membuatku terdiam cukup lama, tulisan di pohon itu sebenarnya yang membuatku mematung lama. Aku ingat, tulisan itu menyebutkan bahwa dulu saat penyiksaan terhadap ratusan orang tidak bersalah, ada sebuah speaker aktif yang di letakkan di pohon tersebut untuk meredam suara-suara korban. Jadi selama penyiksaan berlangsung, suara-suara jeritan dan minta tolong tidak akan terdengar. Sontak saja, ini membuatku geram dan hampir menggoyahkan nalarku saat itu. Bagaimana bisa seorang manusia bisa sangat sekejam itu?


Mungkin ego, ego manusia memang tidak bisa kita ukur. Manusia bisa saja lebih kejam dari binatang mana pun. Perlakuan yang kadang tidak bisa kita ukur dengan logika, dilakukan untuk memenuhi apa yang mereka sebut dengan kekuasaan, keinginan, dan nafsu. Tempat ini layaknya tamparan bagiku pribadi, meski aku percaya setiap negara pasti memiliki catatan hitam dalam perjalanan bangsanya. Indonesia juga seingatku, G30S PKI atau kejadian tahun 98 misalnya. Tetapi tetap saja tempat-tempat seperti Choeung Ek akan selalu mengingatkan kalau manusia yang dianugrahi segala macam kelebihan dan akal bisa dengan mudah memperlakukan manusia lainnya dengan sangat buruk. Di Choeung Ek Killing Field yang merupakan ladang pembantaian terbesar dan bukan satu-satunya di Kamboja, aku masih bisa melihat noda darah para korban, pakaian terakhir yang mereka kenakan, bahkan alat-alat yang digunakan untuk membunuh. Kalau bukan ego, lantas apa?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hi Lawu Hi!

Gunung Lawu yang mempunyai  ketinggian 3265 MDPL ini berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur,yaitu di kawasan Karang anyar (Wonogiri-Jateng) dan Magetan (Jawa Timur). Sore hari yang cerah menemani perjalanan ke basecamp Lawu yang berjarak sekitar 2 jam an dari tempat saya dan teman-teman berkumpul. Kabut tebal menyambut hangat saat kami baru sampai di base camp. Suasana di sekitar base camp Cemoro Sewu saat itu terbilang ramai. Banyak muda-mudi yang melewatkan sorenya untuk sekedar berkumpul di area tersebut, tak heran karena mungkin persis di depan base camp merupakan jalur perbatasan antar propinsi. Saya dan beberapa teman memilih untuk nongkrong di warung kopi sembari menunggu teman-teman yang masih dalam perjalanan menuju base camp. Sebelummnya karena kami sampai terlalu sore, maka pendakian diputuskan untuk dimulai setelah waktu maghrib. Cuaca cerah namun berkabut menemani pendakian kami malam itu. Sekitar pukul 7 dan dimulai dengan doa bersama, kami mulai m

Tepi Campuhan

     *dua mingguan sebelum Bali,badan drop,gejala typhus* “Jadi ..Ma..kamu jadi ke Ubud, ngapain?” “Aku mau tracking di Campuhan” “ye..udah gitu doank..kamu jauh-jauh ke Ubud cuma mau tracking di Campuhan..emang di Jawa gak ada tempat buat tracking ?” “ya..gak tau ya..aku tujuan utama si itu..you know it’s like falling in love at first sight, aku harus kesana” jawabku lempeng “hmmm…” temanku sedikit menggugam       *dia, partner traveling (whatsaap)* “Ndo, gimana kondisimu?baikan belum?” “udah ke dokter, disuruh bed rest…harus sembuh, terlanjur beli tiket hehehe” “Bali jangan dipikirin dulu..cepet sembuh,bed rest…hug..hug..hug” “…… …… …… ……. …… ……. …… ……. ……… ……….” lelap *malam sebelum Bali* “everything is fine..everything in control..enjoy the journey..gak ada yang tertinggal…gak ada” menggumam *********************************************** *Bali hari terakhir* Hari terakhir di Bali, kami habiskan dengan menikmati Ubud saja, hanya Ubud.

Senja Di Namsan

Hari pertama di Seoul, belum sampai setengah hari. Dan sore   itu kami bergegas menuju Namsan Tower. Tak pernah terpikirkan bahwa Korea Selatan menjadi negara kesekian yang berhasil aku kunjungi. Cuaca begitu dinginnya dan ini merupakan pengalaman pertamaku merasakan kejamnya musim dingin di negara yang terkenal dengan industri K-Pop nya ini. Menikmati Namsan juga bukan perkara mudah, kita diharuskan menggunakan kereta gantung menuju menara utama. Tidak untuk yang takut ketinggian, karena kereta gantung di Namsan bisa terbilang cukup tinggi. Bagaimana tidak menara utamanya terletak di atas perbukitan. Kami sampai di ujung bukit, tepat saat senja. Sungguh landscape yang cukup cantik. Sore itu cuaca sungguh dingin buatku, tapi di sisi lain langit begitu cantiknya. Banyak sekali orang disini, sebagian besar berpasangan. Melihat mereka sungguh membuatku haru. Ada banyak bahagia yang bisa kita lihat di wajah mereka, itulah mengapa gembok-gembok cinta dibuat disini. Aku tertegun