Entah ini hari ke
berapa dari rangkaian perjalanan kami di negara-negara Indochina. Malam itu
kami baru saja sampai di Bangkok, terlalu malam sehinggan kami cukup kewalahan
untuk mendapatkan penginapan di Khaosan, belum lagi perjalanan panjang dari
Siem Reap membuat tubuh kami kelewat lelah. Untung saja ada satu penginapan
yang berhasil kami dapatkan, itu pun dengan tarif yang terbilang tidak murah.
Sungguh, Khaosan malam hari layaknya sebuah pesta yang tidak pernah berakhir,
sangat riuh dengan dentuman musik yang terlampau keras, lalu lalang para turis
sepanjang malam. Malam itu, kami memilih untuk beristirahat saja dibanding
larut dalam riuh nya Khaosan, kami lelah. Keesokan harinya kami memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan lagi, tujuan kami adalah Kanchanaburi.
Kanchanaburi, sebuah
kota kecil yang berada di sebelah barat Bangkok dan bisa ditempuh dalam dua jam
perjalanan. Kami memilih kota ini dari sekian tempat di Thailand untuk
menghabiskan beberapa hari sebelum kembali ke Malaysia.
Pagi itu bus yang kami
tumpangi sampai di terminal utama Kanchanaburi, hanya tinggal menunggu sebentar
saja taksi yang akan menjemput dan mengantar kami menuju penginapan. Saat itu
kami memutuskan untuk menggunakan fasilitas antar jemput penginapan yang sudah
kami pesan sebelumnya, jadilah kami tidak perlu repot-repot mencari cara menuju
penginapan kami. Penginapan kami yang di Kanchanaburi mungkin jadi penginapan
favorit kami sepanjang penjalanan di tempat-tempat sebelumnya. Penginapan ini
mengapung diatas sungai Kwai, dan jika senja tiba kami biasanya duduk-duduk di
balkon penginapan untuk menikmati sunset. Itu bisa dibilang senjata ampuh
melepas lelah setelah seharian energi terpakai untuk mengeksplor.
Aku sendiri menyebut
Kanchanaburi “Wild Wild West” karena landscape kota ini hampir mirip yang ada
di film-film koboi bikinan Hollywood. Ada banyak savana luas dan perbukitan
membentang di sepanjang jalan-jalan yang kami lalui. Kalau sore hari,
orang-orang disini suka sekali menghabiskan waktu mereka di pinggiran sungai
Kwai. Sungai Kwai ini merupakan salah satu icon Kanchanaburi. Sungai ini
menjadi salah satu tempat terpenting pada masa perang dunia kedua terlebih
setelah dibangun jembatan penghubung diatas nya. Jembatan ini dibangun oleh
pemerintahan Jepang, menghubungkan wilayah Ban Pong Thailand hingga Burma dan digunakan
sebagai jalur transportasi kargo suplai peralatan perang Jepang sebelum
dihancurkan oleh pihak sekutu di tahun 1944. Pembangunannya sendiri telah
merenggut ratusan nyawa orang-orang tidak bersalah.
Cerita jembatan River
Kwai ini sebenarnya hampir sama dengan cerita sejarah dibalik pembangunan Death
Railway Track “Burma Railway” yang kami kunjungi sehari setelah sampai di
Kanchanaburi. Death Railway Track merupakan rangkaian jalur kereta yang
menghubungkan negara Thailand dengan Burma. Rangkaian kereta ini dibangun
dengan tujuan yang hampir sama dengan jembatan River Kwa, yang uniknya rangkaian gerbong keretanya
masih dapat kita naiki sampai sekarang. Ini juga yang kami lakukan, menaiki
kereta dengan jalur yang tidak mainstream. Kami harus melintasi rel kereta yang
berada persis di sisi tebing batu dan jurang yang berada di sebelah kanan. Tak
heran untuk membangun rel ini, banyak nyawa menjadi korban. Mereka harus
memecah tebing di tempat tersebut dan di sisi lain mereka harus bisa menahan badan mereka agar tidak
terjatuh ke dasar jurang. Gerbong nya
pun masih merupakan gerbong lama dengan tempat duduk kayu bercat kuning isi dua
orang berhadapan, jendela nya pun dibuat tanpa kaca. Landscape di sepanjang rel
ini pun menarik, sungai Kwai membentang dibawah nya dan kita bisa melihat
patung-patung Budha yang dibuat didalam gua di sisi kiri tebing. Jadi perasaan
ngerinya bisa sedikit terobati.
Terlepas dari cerita
sejarah dan alamnya, aku sendiri justru lebih suka menikmati kota kecil yang
jam tujuh malam saja sudah sangat sepi ini layaknya seperti masyarakat asli
Kanchanaburi. Melihat masyarakat disini bercengkerama dengan asyiknya di dekat
jembatan River Kwai, menyaksikan pengamen kecil memainkan gitar nya dengan
sangat lincah, atau menikmati beberapa scoop es krim kelapa dengan taburan kacang
diatasnya yang demi apapun kalian harus menyempatkan membelinya selagi ada di
kota ini. Diantara semburat cerah cahaya sore yang menghasilkan perpaduan warna
emas dan merah saat senja. Sayangnya kami tidak mencoba bersepeda di kota ini,
diantara rasa malas dan lelah untuk melakukannya.
Komentar
Posting Komentar