Siang
itu, cuaca Phnom Penh cukup terik. Kami beranjak meninggalkan homestay menuju
agen bus yang berada tepat di lantai bawah homestay kami. Kami berencana
melanjutkan perjalanan menuju Ho Chi Minh, sesuai perkiraan butuh waktu sekitar
6 jam perjalanan dari Phnom Penh. Kulihat
sosoknya melintas menuju bus yang sama, sosok Caucasian. Berkemeja abu-abu dengan
kancing paling atas terbuka seadanya, celana coklat selutut, rambut brunette
yang sedikit berantakan, bermata biru teduh. Dia melintas dengan ransel besar yang bahkan menutupi sebagian punggungnya, aku ingat betapa berdebunya cover bag yang dia pakai.
Mungkin dia sudah terlalu lama menempuh ribuan mil perjalanan, yah mungkin
saja. Ah tapi untuk ribuan mil yang dia tempuh, dia cukup terlihat bersih
dan..tampan.
Dia
duduk persis di belakang kursi teman perjalananku, sendirian. Kulihat sesekali
dia mengecek ponsel, sesekali juga memejamkan mata, ntah apa yang ada di benak
nya..mungkin bosan, seperti yang sebagian dari kami rasakan. Enam jam di dalam
bus bukan perkara yang menyenangkan bukan?apalagi sendirian, tak ada teman
bicara.
Satu,
dua, tiga jam bus melaju. Sesekali aku memperhatikannya menerawang jauh melalui
jendela bus, aku bisa melihat warna redup di mata birunya. Aku perhatikan
dengan seksama, terkadang terlihat bukan benar-benar biru,kadang terlihat
sedikit lebih lembut. Aku suka.
Lewat pukul lima sore itu, bus yang kami tumpangi tiba di Moc Bai, perbatasan Kamboja dan Vietnam. Untuk kepentingan imigrasi, supir bus meminta kami semua turun untuk pemeriksaan dokumen. Sembari menunggu, persis di belakangku berdiri, sunset sore di Moc Bai siap menemani kami menutup hari. Warna lembayung dengan matahari bulat sempurna yang perlahan-lahan menghilang di balik ufuk seakan menghibur kami dari rasa jenuh setelah berjam-jam berada di dalam bus, syahdu. Tepat ketika aku membalikkan badan ke arah bus, dia..si mata biru tercenung persis di depanku. Mungkin lebih dari lima detik kami berpandangan, aku sendiri sebenarnya tak yakin, ntah apa yang ada di otakku saat itu. Aku masih ingat angin sore itu sedikit menerpa rambut brunette nya, membuat nya sedikit berantakan. Aku tersadar kemudian, ada senyum simpul terbentuk dari bibir tipisnya. Aku?aku terpaku di antara mata yang sedari awal aku kagumi, kedua matanya menatapku teduh. Aku mematung...sudah kubilang kan?aku tak yakin dengan apa yang kurasa saat itu..
Hey..I remember. Pria bermata biru, antara Kamboja dan Vietnam. Yang menatapku diantara lukisan sunset terindah hari itu...
Lewat pukul lima sore itu, bus yang kami tumpangi tiba di Moc Bai, perbatasan Kamboja dan Vietnam. Untuk kepentingan imigrasi, supir bus meminta kami semua turun untuk pemeriksaan dokumen. Sembari menunggu, persis di belakangku berdiri, sunset sore di Moc Bai siap menemani kami menutup hari. Warna lembayung dengan matahari bulat sempurna yang perlahan-lahan menghilang di balik ufuk seakan menghibur kami dari rasa jenuh setelah berjam-jam berada di dalam bus, syahdu. Tepat ketika aku membalikkan badan ke arah bus, dia..si mata biru tercenung persis di depanku. Mungkin lebih dari lima detik kami berpandangan, aku sendiri sebenarnya tak yakin, ntah apa yang ada di otakku saat itu. Aku masih ingat angin sore itu sedikit menerpa rambut brunette nya, membuat nya sedikit berantakan. Aku tersadar kemudian, ada senyum simpul terbentuk dari bibir tipisnya. Aku?aku terpaku di antara mata yang sedari awal aku kagumi, kedua matanya menatapku teduh. Aku mematung...sudah kubilang kan?aku tak yakin dengan apa yang kurasa saat itu..
Hey..I remember. Pria bermata biru, antara Kamboja dan Vietnam. Yang menatapku diantara lukisan sunset terindah hari itu...
Komentar
Posting Komentar